RSS

MEMBANGUN MASYARAKAT MELEK SAINS BERKARAKTER BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN



MASYARAKAT MELEK SAINS BERKARAKTER BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN
Liliasari
Prodi Pendidikan IPA SPsUPI
liliasari@upi.edu
Abstrak
Sains sangat penting dalam segala aspek kehidupan, karena itu perlu dipelajari agar semua insan Indonesia mencapai literasi sains, sehingga membentuk masyarakat yang melek sains namun tetap berkarakter bangsa. Pendidikan sains bertanggungjawab atas pencapaian literasi sains anak bangsa, karena itu perlu ditingkatkan kualitasnya. Peningkatan kualitas pendidikan sains dilakukan melalui berpikir sains atau pengembangan keterampilan generik sains. Pengembangan berpikir sains dapat meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik. Sains yang bersifat unity in diversity sejalan dengan falsafah bangsa indonesia, yaitu Bhineka Tunggal Ika, dengan demikian melalui belajar sains dapat pula dikembangkan karakter bangsa.

Kata-kata kunci:literasi sains, berpikir sains, keterampilan generik sains

Pendahuluan

Pada milenium ke-3 di abad ke-21 ini bangsa Indonesia harus siap menghadapi tantangan global. Masalah-masalah global banyak dirasakan oleh bangsa Indonesia masa kini, di antaranya pertentangan antar kelompok sosial yang tak terkendali, kesenjangan yang makin besar antara pihak kaya dan miskin di dunia dan perlunya investasi besar dalam bidang intelektual manusia. Dalam hal ini bangsa-bangsa di dunia, termasuk di dalamnya bangsa Indonesia sangat bergantung pada penggunaan sains dan teknologi secara bijaksana. Kemampuan ini bergantung pada karakter, sebaran, dan keefektifan pendidikan yang diterima masyarakat. Tujuan utama pendidikan yang diperlukan adalah mempersiapkan manusia untuk mengarahkannya dalam mengisi kehidupan secara bertanggungjawab (Liliasari, 2010).
Pendidikan sains dapat menolong peserta didik untuk mengembangkan pemahaman dan kebiasaan berpikir yang diperlukan sebagai manusia yang memiliki tenggang rasa yang dapat berpikir untuk dirinya sendiri dan bangsanya. Pendidikan sains juga harus mempersenjatai mereka ketika berpartisipasi menyumbangkan pemikiran dengan sesama warganegara untuk melindungi masyarakat yang sangat terbuka, sehingga dalam keadaan bahaya (Rutherford and Ahlgren, 1990).
UU no 20/2003 tentang Sisdiknas pasal 3 menyatakan bahwa:Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Terbentuknya karakter peserta didik yang kuat dan kokoh diyakini merupakan hal penting dan mutlak dimiliki anak didik untuk menghadapi tantangan hidup masa depan.
Berdasarkan paparan di atas maka permasalahannya adalah bagaimana pendidikan sains yang dikembangkan melalui pembelajaran sains dapat mencapai tantangan-tantangan tersebut?

Dimensi-dimensi Pembelajaran Sains dan Literasi Sains
Bila peserta didik diperkenalkan pada hakikat sains, biasanya menjadi bingung dan memiliki kesan bahwa sains tidak berbeda dengan mistik atau kepercayaan yang terselubung dan biasanya dipelajari secara hafalan. Untungnya ada dimensi-dimensi dalam pembelajaran sains untuk memperjelas hakikat tersebut. Dimensi-dimensi atau sudut pandang ini dapat digunakan untuk melaksanakan, dan menganalisis pembelajaran sains.
Berdasarkan kedalaman cara mempelajarinya sains memiliki 4 dimensi, yaitu: (1) sains sebagai cara berpikir; (2) sains sebagai cara untuk menyelidiki; (3) sains sebagai pengetahuan; (4) sains dan interaksinya dengan teknologi dan masyarakat.(Chiapetta and Koballa, 2006). Perbedaan sudut pandang ini dapat mengarahkan seperti apa cara pembelajaran sains yang dipilih. Pada hakikatnya perbedaan keempat sudut pandang tersebut dalam pelaksanaan pembelajaran sains dalam pendidikan sains dewasa ini dapat digambarkan seperti terlihat dalam gambar 1.


Sains sebagai cara menyelidiki
Sains sebagai pengetahuan
Sains dan hubungannya dengan teknologi dan masyarakat
Sains sebagai cara berpikir

Gambar 1. Dimensi-dimensi dan intensitas pembelajaran sains

Belajar sains sebagai cara berpikir meliputi keyakinan (belief) , rasa ingin tahu (curiosity), imaginasi (imagination), penalaran (reasoning), hubungan sebab-akibat (cause-effect relationship), pengujian diri dan skeptis (self-examination and skeptiscism), keobjektifan dan berhati terbuka (objectivity and open-mindedness). Sebagai cara untuk menyelidiki belajar sains dapat berupa metode ilmiah, yang titik beratnya adalah berhipotesis (hypothesis), pengamatan (observation), melakukan eksperimen (experimentation), dan menggunakan matematika (mathematics). Sains sebagai pengetahuan (body of knowledge) meliputi fakta (facts), konsep-konsep (concepts), hukum-hukum dan prinsip-prinsip (laws and principles), teori-teori (theories) dan model-model (models). Sains dalam interaksinya dengan teknologi dan masyarakat telah banyak dipelajari dalam berbagai bentuk pembelajaran seperti STS, SETS, serta pembelajaran sains kontektual seperti CTL.
Literasi sains merupakan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep dan proses sains yang diperlukan untuk pengambilan keputusan pribadi, berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat dan budaya, serta produktivitas ekonomi. Litersi sains juga meliputi jenis kemampuan yang spesifik (NSES, 1996). Literasi sains berimplikasi pada kemampuan seseorang mengidentifikasi isu-isu sains yang melandasi pengambilan keputusan lokal dan nasional yang dapat pula menunjukkan posisi sains dan teknologi yang telah diterimanya. Dalam hal ini tersirat peranan serta kewajiban pendidikan sains dalam membentuk warganegara yang melek sains.

Beberapa contoh berikut menggambarkan rendahnya literasi sains bangsa Indonesia. Seseorang membawa petasan yang dibungkus rapat dalam bis pada siang hari yang mengakibatkan kebakaran yang mencelakakan semua penumpang bis. Pekerja papan reklame memperbaiki papan reklame tersebut dengan memanjat tiang listrik sehingga tersengat arus listrik tegangan tinggi. Penangkap belut menggunakan listrik tanpa alas kaki karet atau bahkan menceburkaan diri ke sungai sambil membawa alat penyetrum ikan tersebut. Orang menggunakan telepon genggam ketika terperangkap di lokasi yang diduga terdapat bom buku.Mahasiswa menyalakan alat-alat elektronik untuk praktikum tanpa lebih dahulu mencermati tegangan pada stop kontak yang digunakannya.Orang merasa aman berteduh di bawah pohon rindang ketika hujan berpetir atau bermain layang-layang di atas atap rumah ketika akan hujan berpetir. Masih banyak bukti-bukti lain yang dapat menjadi indikator lemahnya dampak pendidikan sains di negara kita. Menjadi juara olimpiade saja belum tentu menjamin siswa melek sains. Bagaimana mengatasi kesenjangan dalam pembelajaran sains, agar tercapai literasi sains?

Pergeseran Paradigma dalam Pembelajaran Sains
Sebagaimana dilukiskan pada gambar 1 pendidikan sains masih terpaku pada pembelajaran ’sains sebagai pengetahuan’ dengan porsi yang berlimpah. Untuk memperbaiki kondisi tersebut, ada 5 hal yang merupakan learning gaps (Light and Cox, 2001) yang perlu diubah dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran, khususnya di perguruan tinggi, yaitu dari :(1) hafalan menjadi pemahaman; (2) pemahaman menjadi kemampuan (kompetensi); (3) kemampuan menjadi keinginan untuk melakukan; (4) keinginan untuk melakukan menjadi secara nyata melakukan; (5) secara nyata melakukan menjadi dalam proses berubah/ selalu berubah. Tantangan seperti ini harus segera direspon oleh setiap perguruan tinggi untuk menopang perkembangan masyarakat dalam rangka memenangkan persaingan global.
Seiring dengan berlangsungnya perubahan cara belajar tersebut, maka belajar sains juga harus mengubah paradigma. Perubahan paradigma belajar sains yaitu dari belajar sains menjadi berpikir melalui sains, yang akhirnya menjadi berpikir sains. Belajar sains yang sedang berlaku masa kini juga bervariasi kadarnya. Dari rentang yang paling rendah yaitu belajar sains melalui hafalan sains. Ini yang sangat banyak berlaku. Berdasarkan bagan pada gambar 1 disadari bahwa belajar sains seperti ini sangatlah sukar, mengingat konten sains sangat banyak dan bervariasi. Hal ini menyebabkan banyak peserta didik segan belajar sains, karena dianggap sangat sulit. Padahal di pihak lain sains sangat diperlukan yang dikenal dengan science for all,karena seluruh aspek kehidupan tidak dapat lepas dari sains. Ini merupakan tantangan yang harus segera dijawab oleh pendidikan sains untuk berubah dalam rangka pencapaian literasi sains. Bagaimana realisasi jawaban terhadap permasalahan terseebut? Pembelajaran sains perlu ditingkatkan menjadi berpikir melalui sains, yang selanjutnya perlu berubah terus menjadi berpikir sains. Banyak model-model pembelajaran sains menolong kita semua untuk berpikir melalui sains, yaitu seperti ranah ke-3 dan ke-4 dari bagan pada gambar 1, yaitu ’ sains sebagai cara menyelidiki’ serta ’sains dan interaksinya dengan teknologi dan masyarakat’. Menurut standar pendidikan sains NSES perubahan pola pembelajaran sains perlu mengikuti pola yang terdapat dalam tabel 1.

Tabel 1. Perubahan Pola Penekanan Pembelajaran Sains (NSES,1996)

Pola Lama
Mengenal informasi dan fakta sains

Mempelajari materi subjek disiplin-disiplin sains (fisika, biologi, kimia, IPBA) untuk kepentingannya masing-masing
Memisahkan produk dan proses sains
Mempelajari banyak topik sains

Menerapkan inkuiri pada seperangkat proses sains


Pola Baru

Mempelajari materi subjek disiplin-disiplin sains dalam konteks inkuiri, teknologi, sains dalam pandangan pribadi dan sosial, sejarah dan hakikat sains)
Mengintegrasikan semua aspek materi sains
Mempelajari sedikit konsep sains yang fundamental
Menerapkan inkuiri sebagai strategi pembelajaran, kemampuan, dan ide yang dipelajari

Dalam bidang inkuiri kecenderunga perubahan pendidikan sains dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Perubahan Penekanan dalam Pengembangan Inkuiri (NSES,1996)

Kurang menekankan
Demonstrasi atau verifikasi konsep/ materi sains
Penyelidikan pada waktu tertentu
Keterampilan proses di luar konteks
Keterampilan proses individual seperti mengamati, menyimpulkan
Mencari jawaban
Sains sebagai eksplorasi dan eksperimen
Memberikan jawaban terhadap pertanyaan tentang konsep sains
Individu atau kelopok siswa menganalisis dan mensintesis data tanpa mempertahankan kesimpulan
Melakukan sedikit penyelidikan untuk memenuhi waktu yang tersedia untuk mempelajari banyak materi pelajaran
Menyimpulkan keingintahuan dengan hasil eksperimen
Managemen materi dan peralatan
Komunikasi pribadi ide dan kesimpulan siswa kepada guru

Lebih menekankan
Menyelidiki dan menganalisis pertanyaan sains
Penyelidikan pada waktu yang lebih luas
Keterampilan proses dalam konteks
Menggunakan keterampilan proses multipel (manipulasi, prosedural, kognitif)
Menggunakan bukti dan strategi untuk mengembangkan atau memperbaiki penjelasan
Sains sebagai argumen dan penjelasan
Mengkomunikasikan penjelasan sains
Kelompok siswa sering menganalisis dan mensintesis data setelah mempertahankan kesimpulan
Melakukan lebih banyak penyelidikan untuk mengembangkan pemahaman, kemampuan, nilai inkuiri dan pengetahuan materi sains
Menerapkan hasil eksperimen pada argumen dan penjelasan ilmiah
Managemen ide dan informasi
Komunikasi umum ide dan karya iswa kepada teman-teman sekelasnya.

Belajar Sains melalui Berpikir Sains


Sebagai hasil belajar sains, menurut Burmester (1952) ada 7 macam kemampuan pokok yang harus dikuasai peserta didik untuk dapat menjelaskan fenomena alam, yaitu: (1) menjelaskan alam secara teliti; (2) merasakan dan merumuskan pertanyaan kausal tentang alam;(3) mereorganisasi, membuat, merumuskan hipotesis dan teori alternatif; (4) memunculkan prediksi logis; (5) melakukan eksperimen terkendali untuk menguji hipotesis;(6) mengumpulkan, mengorganisasi, menganalisis eksperimen yang relevan dengan data yang yang berkorelasi; (7) menyimpulkan dan menerapkan kesimpulan yang masuk akal (Lawson,1995). Bila dikaji lebih lanjut, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan-kemampuan tersebut semuanya mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik, yang meliputi berpikir kritis (1,2,3,4), pemecahan masalah (5,6), berpikir kreatif (4,5,6,7) dan pengambilan keputusan (5,6,7).
Berpikir kritis juga mengembangkan kemampuan-kemampuan berpikir lain, di antaranya kemampuan berargumentasi dan berpikir analitik. Berpikir kreatif memunculkan kemampuan berpikir reflektif dan menemukan keaslian (originality) dalam berkarya. Pola berpikir ini yang memacu perkembangan sains secara berkesinambungan (continuous development) sepanjang masa. Berpikir reflektif masih sangat sedikit kalau bukan dinyatakan sebagai belum pernah dijangkau dalam pembelajaran sains. Misalnya ketika suatu teori dikemukan, pernahkah peserta didik diberi kesempatan untuk memprediksikan kemungkinan-kemungkinan keberlakuan teori tersebut? Suatu pengalaman yang sangat langka dalam pembelajaran di negara kita, kalau tidak dikatakan ’belum ada’. Hal ini juga yang mendorong terjadi kebiasaan konsumtif masyarakat, karena tergiur oleh iklan dan tidak pernah memikirkan lebih dahulu ketika memilih suatu produk ’baru’ barang yang dikonsumsi/dibeli.
Belajar sains pada taraf yang paling tinggi sesungguhnya adalah kegiatan berpikir sains, yang pada hakekatnya adalah berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills). Berpikir sains disebut pula sebagai ’keterampilan generik sains’ meliputi 9 keterampilan utama, yaitu: (1) pengamatan langsung dan tak langsung (direct and indirect observation); (2) kesadaran tentang skala besaran (sense of scale);(3) bahasa simbolik (symbolic language); (4) kerangka logika taat-azas (logical self-consistency); (5) inferensi logika (logical inference); (6) hukum sebab-akibat (causality); (7) pemodelan matematik (mathematical modelling); (8) membangun konsep (concept formation) (Brotosiswoyo, 2000); (9) tilikan ruang (spatial) (Suyanti, 2006; Sudarmin, 2007).
Sains mempelajari fenomena alam, karena itu sangat penting manusia memiliki kemampuan untuk melakukan pengamatan langsung. Apabila fenomena yang diamati tidak terjangkau oleh indera manusia yang kemampuannya terbatas, maka perlu dilakukan pengamatan tak langsung dengan bantuan alat-alat di antaranya mikroskop, teleskop, ampere meter, voltmeter, indikator, dan masih banyak lagi alat bantu dengan sensitivitas beragam. Kegiatan ini termasuk pengamatan tak langsung. Dari pengamatan tersebut peserta didik memiliki kesadaran akan skala besaran yang tidak dikenalnya dalam kehidupan sehari-hari seperti ukuran jagad raya yang sangat besar dibandingkan dengan ukuran elektron yang sangat kecil. Umur jagad raya milyaran tahun, sedangkan keberadaan pasangan elektron-positron yang berekombinasi ribuan kali dalam 1/30 detik. Penduduk dunia mencapai lebih dari 5 milyar, namun jumlah partikel dalam 1 mol zat jauh lebih besar yaitu 6,02 x 1023 partikel.

Dalam sains ada disiplin-disiplin yang merupakan bagian dari sains. Agar setiap orang yang mempelajari disiplin-disiplin sain itu dapat berkomunikasi, maka perlu adanya bahasa yang dipahami bersama yang disebut sebagai bahasa simbolik. Misalnya adanya lambang unsur, persamaan reaksi, tanda jantan/betina, I sebagai kuat arus, R sebagai hambatan. Dari banyak pengamatan alam ternyata bukan hanya keragaman yang ditemukan, melainkan ada kerangka logika taat-azas, misalnya hukum mekanika Newton dan elektrodinamika Maxwell dapat dibuat taat azas dengan lahirnya relativitas Einstein. Logika sangat berperan dalam melahirkan hukum-hukum sains. Banyak fakta yang tak dapat diamati langsung ternyata dapat ditemukan melalui inferensi logika. Misalnya suhu nol Kelvin sampai saat ini belum dapat diverifikasi, tetapi diyakini benar.

Rangkaian hubungan berbagai gejala yang diamati dalam sains dipercaya selalu membentuk hukum sebab-akibat. Misalnya ikan salmon perak yang lahir di air tawar dan kemudian hidup di lautan lepas, akan kembali bertelur di tempat kelahirannya dan kemudian mati di sana. Es akan mencair apabila diletakkan pada suhu di atas 00 C. Untuk mempermudah mencari jawaban terhadap hubungan-hubungan yang diamati, maka dibentuk suatu pemodelan matematik. Selain itu untuk mempelajari banyak gejala alam, perlu dicari hubungan antara banyak gejala yang membangun konsep. Misalnya sejumlah zat seperti larutan HCl, HNO3, H2SO4, CH3COOH dapat memerahkan lakmus dan memiliki pH kurang dari 7, membangun konsep ’asam’.Dalam memahami konsep-konsep seperti kereaktifan dan pola reaksi berbagai zat, maka dalam kimia khususnya diperlukan pemahaman spatial, misalnya penjelasan kereaktifan senyawa-senyawa organik, dan reaksi enzim-subtrat dalam biokimia.

Berdasarkan paparan di atas dapatlah disadari bahwa pembelajaran sains melalui pengembangan berpikir sains sangat berpengaruh terhadap literasi sains. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu diupayakan pengembangan berpikir sains peserta didik melalui pengembangan keterampilan generik sains dalam pembelajaran sains. Dengan demikian literasi sains juga dapat ditingkatkan.

Berpikir sains dapat membangun kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir tingkat tinggi ini dapat dibekalkan untuk membentuk karakter bangsa. Misalnya bila warganegara mampu berpikir kritis, maka tak akan begitu mudah terjadi benturan kelompok-kelompok sosial seperti tawuran, karena setiap individu dalam masyarakat tidak akan mudah tertipu oleh isu. Menurut Moore dan Parker (2009) berpikir kritis memiliki sejumlah karakteristik, yaitu: (1) menentukan informasi mana yang tepat atau tidak tepat; (2) membedakan klaim yang rasional dan emosional; (3) memisahkan fakta dari pendapat;(4) menyadari apakah bukti itu terbatas atau luas; (5) menunjukkan tipuan dan kekurangan dalam argumentasi orang lain; (6) menunjukkan analisis data atau informasi; (7) menyadari kesalahan logika dalam suatu argumen; (8) menggambarkan hubungan antara sumber-sumber data yang terpisah dan informasi; (9) memperhatikan informasi yang bertentangan, tidak memadai, atau bermakna ganda; (10) membangun argumen yang meyakinkan berakar lebih pada data daripada pendapat, (11) memilih data penunjang yang paling kuat; (12) menghindarkan kesimpulan yang berlebihan, (13) mengidentifikasi celah-celah dalam bukti dan menyarankan pengumpulan informasi tambahan; (14) menyadari ketidak-jelasan atau banyaknya kemungkinan jawaban suatu masalah; (15) mengusulkan opsi lain dan mempertimbangkannya dalam pengambilan keputusan; (16) mempertimbangkan semua pemangku kepentingan atau sebagiannya dalam mengusulkan penyebab tindakan; (17) menyatakan argumen dan konteks untuk apa argumen itu; (18) menggunakan bukti secara betul dan tepat untuk menyanggah argumen; (19) menyusun argumen secara logis dan kohesif; (20) menghindarkan unsur-unsur luar dalam penyusunan argumen; (21) menunjukkan bukti untuk mendukung argumen yang meyakinkan.

Sifat sains yang merupakan kesatuan dalam keragaman (unity in diversity) (Liliasari, 2005) sangat sejalan dengan falsafah negara kita yaitu ’Bhineka Tunggal Ika’. Bagaimana sains dapat merupakan kesatuan dalam keragaman, yaitu dengan adanya tema umum dalam mempelajari sains. Ada lima tema umum yang secara keseluruhan mendukung sains secara utuh, yaitu sistem, model, kekekalan, perubahan, dan skala.

Dalam hubungan banyak benda yang berinteraksi dan masing-masing memiliki fungsi dalam hubungan itu, maka akan terbentuk sistem. Misalnya sistem syaraf, ekosistem, kesetimbangan, tatasurya. Untuk mempelajari fenomena yang tidak dapat dimati langsung oleh pancaindera, maka diperlukan model. Misalnya model atom, model mesin uap, model peredaran darah. Dalam alam semesta segala sesuatu berubah setiap saat. Dalam mempelajari segala sesuatu yang berubah ini selalu ada sesuatu yang tidak berubah, yang disebut kekekalan. Untuk mempelajari perubahan yang terjadi ditemukan pola-pola perubahan, yaitu tetap, siklus, dan tak teratur. Misalnya daun tumbuh sebagai kuncup, kemudian daun muda, menjadi tua, menguning, dan kering, kemudian gugur. Itu merupakan perubahan berpola tetap. Perubahan berpola siklus misalnya air laut menguap karena panas matahari, kemudian mengembun kembali di angkasa karena dingin dan turun sebagai hujan. Pola perubahan tak teratur ditunjukkan oleh mengembang dan menyusutnya alam semesta yang tak dapat diramalkan melalui perhitungan.

Beberapa contoh penelitian yang mengembangkan berpikir sains
Beberapa model pembelajaran digital (berbasis ICT) dalam bidang biologi, fisika dan kimia, telah dikembangkan melalui penelitian hibah pascasarjana dengan tema keterampilan generik sains, dan berpikir tingkat tinggi pada tahun 2010. Model-model pembelajaran tersebut dapat dikelompokkan menjadi pembelajaran syncronous (model on-line) dengan topik sistem syaraf dan medan magnet, dan pembelajaran a-sycronous (model off-line) dengan topik-topik embriologi manusia; rangkaian arus bolak-balik; fisika kuantum; elastisitas, fuida, suhu dan kalor; kesetimbangan kimia. Model-model pembelajaran ini disusun baik untuk siswa SMA (kesetimbangan kimia) dan untuk mahasiswa calon guru (topik-topik yang lain).
Melalui model-model pembelajaran yang telah dikembangkan ini dapat dilakukan meta analisis mengenai hubungan topik-topik yang dipilih dengan keterampilan generik sains dan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang dikembangkan seperti dapat dilihat pada tabel 3. Hal ini menunjukkan betapa erat hubungan antara topik Sains yang dipelajari dengan keterampilan berpikir sains dan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang dikembangkan.


Tabel 3. Hubungan topik Sains, Keterampilan Generik Sains dan Berpikir tingkat Tinggi yang dikembangkan pada model-model pembelajaran
No.

Topik

Keterampilan Generik Sains

Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

1.
Embriologi Manusia (Mariana,2010) & Sistem syaraf (Sihombing,2010)

kerangka logis, inferensi logika, hukum sebab-akibat, membangun konsep, pengamatan langsung

Memfokuskan pada pertanyaan, mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi (berpikir kritis)
2.
Rangkaian arus bolak-balik (Saprudin, 2010), dan medan magnet
(Sutarno,2010)
Pengamatan tak langsung, kesadaran akan skala besaran, inferensial logika, hukum sebab akibat, membangun konsep, pemodelan matematika.

Menerapkan prinsip, mengidentifikasi kesimpulan, menemukan persamaan dan perbedaan, memberikan alasan, menerapkan prinsip yang dapat diterima (berpikir kritis),
3.
Elastisitas, fluida, suhu dan kalor (Widodo,2010)

bahasa simbolik, pemodelan matematika, menerapkan dan melaksanakan metode yang dipilih, pengamatan langsung, kerangka logika taat azas, hukum sebab akibat

Mengidentifikasi strategi, membandingkan strategi, menerapkan dan melaksanakan metoda yang dipilih, mengidentifikasi faktor-faktor penting untuk memfokuskan masalah, mengklarifikasi masalah atau tugas yang akan diselesaikan (pemecahan masalah)
4.
Fisika Kuantum (Abdurrahman, 2010

hukum sebab akibat, kesadaran akan skala besaran, konsistensi logis, inferensi logika, pengamatan tak langsung, bahasa simbolik, pemodelan matematik, membangun konsep
Berhati terbuka, pencarian kebenaran, inquisitiveness, kematangan pertimbangan, analyticity,kepercayaan diri berpikir kritis ( disposisi berpikir kritis)
5.
Kesetimbangan kimia (Wiratama, 2010)

pengamatan tak langsung, pengamatan langsung, bahasa simbolik, hukum sebab akibat, pemodelan matematik, inferensi logika, kerangka logika taat asas, kesadaran akan skala besaran, membangun konsep.

Memfokuskan pada pertanyaan, menganalisis argumen, mempertimbangkan kredibilitas sumber, mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi, mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi, menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi, membuat dan mempertimbangkan keputusan (berpikir kritis)







Kesimpulan
Berdasarkan kajian teori dan hasil-hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Sains berperan sangat penting dalam segala aspek kehidupan manusia, karena itu sangat diperlukan oleh   semua insan Indonesia (science for all) dalam membentuk masyarakat yang literasi sains.
  2. Pembelajaran Sains bertanggungjawab atas literasi sains peserta didik, karena itu kualitas pembelajaran Sains perlu ditingkatkan agar segera mencapai taraf pengembangan berkelanjutan
  3. Pengembangan berpikir sains atau keterampilan generik sains peserta didik melalui pembelajaran, memberikan dampak iringan perkembangan kemampuan berpikir tingkat tingginya
  4. Karakter sains ‘unity in diversity’ sejalan dengan falsafah bangsa Indonesia ‘Bhineka Tunggal Ika’, maka belajar sains dapat sekaligus mengembangkan karakter bangsa dalam menghadapi persaingan global.
  5. Melalui pembelajaran sains berbasis ICT dapat dilakukan sekaligus pengembangan penguasaan konsep sains, keterampilan generik sains, dan keterampilan berpikir tingkat tinggi peserta didik

Daftar Pustaka

Brotosiswoyo, B.S. (2000). Kiat Pembelajaran MIPA dan Kiat Pembelajaran Fisika di Perguruan Tinggi, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Chiapetta and Koballa ( 2006). Science Instruction in the Middle and Secondary Schools: Developing Fundamental Knowledge and Skills for Teaching, sixth edition, New Jersey: Pearson Education, Inc.

Liliasari (2005) Membangun keterampilan berpikir manusia Indonesia melalui pendidikan sains, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Pendidikan IPA pada FPMIPA UPI

Liliasari (2010) Pengembangan berpikir kritis sebgai karakter bangsa Indonesia melalui pendidikan sains berbasis ict, Potret Profesionalisme Guru dalam Membangun Karakter Bangsa: Pengalaman Indonesia dan Malaysia, Bandung: UPI

Moore and Parker (2009) Critical Thinking, New York: McGraw-Hill Co. Inc.
NSES (1996) National Science Education Standard, Washington, DC: National Academy Press

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS